Saturday 19 September 2015

Everest - Bukan Sekedar Film

Love – Pain – Family – Fall -  Experience – courage – Fear – Strength – Faith – Hope 

Everest Movie

Ketika mendengar “Everest” yang terlintas di dalam kepalaku adalah salju. –Sore itu, hari Rabu, 16 September 2015 setelah selesai balancing di kantor aku membuka handphone, ada sms ter-popup dari nomor yg aku simpan sebagai “dearest” di kontak.
“dek, nonton Everest yuk”

Berasa kudet karena aku memang ga update dengan jadwal film release di bioskop. Ga perlu pikir panjang memang kami langsung mengatur jadwal bertemu dan tempat nonton yang ekonomis, TIM.
Everest adalah film yang diangkat dari kisah nyata, pendakian “massal” yang terjadi tahun 1996 ini menjadi sejarah tersendiri. Berbagai rombongan berlomba-lomba untuk mencapai puncak dengan ego masing-masing. Camp ground yang mulai dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tujuan sama untuk mencapai puncak Everest.

Kontingen dari berbagai negara hadir memeriahkan pendakian tahun 1996 itu, mulai dari Afrika Selatan, Taiwan hingga komunitas seperti Adventure Consultant dan Mountain Madness yang mengkomersialkan Everest sebagai lahan penghasilan mulai dihadiri orang-orang dari penjuru dunia. Team leader masing-masing group mempunyai tugas yang sama, yaitu membawa anggota mereka naik dan turun lagi dengan selamat.

Manusia selalu mencoba bersaing dengan gunung, dan gununglah yang selalu menjadi pemenang

Banyaknya team yang ingin mencapai puncak membuat jalur pendakian begitu ramai. Ego masing-masing yang kekeuh untuk mencapai puncak membuat mereka lalai dengan berbagai prioritas dan esensi naik gunung. Saya suka dengan kalimat Anatoli Boukreev dalam film ini “Manusia selalu mencoba bersaing dengan gunung, dan gununglah yang selalu menjadi pemenang”. Jangan pernah  menantang gunung, meskipun sampai pada puncaknya, itu bukanlah suatu kemenangan ! Bukan ! justru kemenangan adalah ketika kita mampu mengalahkan ego kita.

Setiap mereka membawa alasan tersendiri mengapa melakukan pendakian Everest ini, ada yang karena mencari kedamaian. Ada yang mengaku karena telah mendaki 6 gunung tertinggi hingga Everest harus melengkapi 7 summit-nya. Ada yang karena ingin memotivasi anak-anak di rumahnya yang telah membantu membiayai modal menuju Everest. Semua dengan alasan mereka masing-masing, yang intinya semua ingin menggapai puncak Everset -1996.

Rob yang menjadi team leader meninggalkan seorang istri yang sedang hamil di rumahnya, firasat wanita memang tak pernah bisa dipungkiri. Meski sulit untuk diutarakan, baiknya menjaga yang selayaknya dijaga terlebih dahulu ketimbang memenuhi panggilan jiwanya. Rob berangkat dengan hati yang gusar, menuju Nepal. Hingga ia bertemu dengan kelompok lain yang ingin mendaki Everest. Doug Hansen, Scot Fisher, Anatoli, Krakauer dll.



Siapa yang tidak kagum dengan puncak tertinggi dunia ini, namun cuplikan kalimatnya membuat ada sesuatu yang menyusup di hati “Jangan telalu lama memandang puncak, itu terlalu jauh. Menunduklah dan menapak selangkah demi selangkah

Ada satu adegan yang membuat saya bergedik, saat Rob memungut sampah di camp ground Everest, menandakan memang sampah mulai meracuni alam di gunung. Sembari ia mengamati seseorang yang mengajarkan cara menggunakan sepatu kepada beberapa bocah amatir. Ia mulai heran, bagaimana bisa seorang seperti mereka diajak berkunjung ke everest jika menggunakan sepatu saja masih perlu diajarkan. Lelucon !

Pengkondisian dilakukan dengan tertib, sebelum pendakian dilaksanakan. Semua berlatih fisik dan adaptasi dengan lingkungan baru. Memahami suasana pendakian yang sangat crowded, semua mengatur strategi baru dan ingin tetap mencapai puncak tepat waktu, meskipun sudah diperingatkan bahwa akan terjadi antrian panjang di Hillary Step, salah satu route jalur pendakian yang harus disebrangi. Semua dipersiapkan dengan detail dan pembagian tugas telah di-share dengan baik.

Persiapan yang matang bukan menjadi jaminan kelancaran pendakian juga, buktinya saat pendakian di film ini masih saja ada beberapa hal yang miss, saat salah seorang kelupaan untuk meletakkan tabung oksigen di jalur selatan sebagai cadangan. Dan kejadian tali yang harusnya datang tepat waktu untuk membuka jalur pendakian menuju puncak datang terlambat dan akhirnya membuat beberapa pendaki mulai resah. 

Anggota Pendakian Everest 1996, 4 diantaranya meninggal dunia  Doug Hansen, Andy, Rob, Yasuko Namba.


Film ini sungguh luar biasa, bukan mengenai kisahnya saja. Tapi tentang esensi naik gunung yang pesannya begitu mengena. Rob yang begitu luar biasa baik dan bertanggungjawab terhadap anggotanya, membuat ia mengantarkan naik lagi ke puncak yang baru saja ia capai demi ego salah seorang pendaki, hingga akhirnya ia tewas dibarengi adegan yang memilukan saat telepon satelitnya tersambung dengan istrinya yang sedang hamil di rumah. Pilu.

Dan saat Toli membantu pendaki lain untuk masuk tenda, kebaikan-kebaikan para pendaki yang mengalahkan ego. Meskipun beberapa orang dalam pendakian Everest ini memiliki ego masing-masing demi mencapai puncak.

Gunung tak hanya sekedar pencapaian puncak, “It’s the attitude, not altitude”.


Beberapa pelajaran penting dalam film ini :

     1.  Jaga istri di rumah, saat istri sedang hamil jangan ditinggal naik gunung *KODE KERAS*

     2.  Persiapan dan pemikiran yang matang saat naik gunung itu mutlak, segala yang telah dipersiapkan dalam kebutuhan pendakian gunung film Everest ini telah dilakukan, namun tetap saja ada yang luput. Kebayang kan gimana jadinya kalau tidak dipersiapkan dengan baik alias waton mangkat ?

     3. Satu hal lagi, pendakian bukan hanya sekedar mencapai puncak. Tapi esensi kita mengenal diri sendiri, mengalahkan ego masing-masing. “It’s the attitude, not altitude”.

Credit Feature Image by http://www.rottentomatoes.com/

No comments:

Post a Comment